Read more: http://infosinta.blogspot.com/2012/04/cara-unik-agar-potingan-di-blog-tidak.html#ixzz29l7qlvxz Watashi No Burogu Ni Youkoso Irasshaimase: BAB I N.K.R.I

BAB I N.K.R.I

Sejarah Negara Republik Indonesia Serikat Menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia

A.      Pendahuluan

Awal tahun 1950 merupakan periode krusial bagi Indonesia. Pertentangan dan konflik untuk menentukan bentuk negara bagi Bangsa dan Negara Indonesia tengah berlangsung. Pada satu sisi, secara resmi saat itu Indonesia merupakan negara federal, sebagaimana hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Akan tetapi, pada saat yang bersamaan muncul gerakan yang menentang keberadaan negara federal itu. Gerakan ini eksis bukan saja di kalangan elit, tetapi juga di kalangan masyarkat bawah. Gerakan tersebut menghendaki diubahnya bentuk negara federal menjadi negara kesatuan.
Oleh banyak pengamat luar negeri gerakan itu dianggap terlalu dini, tergesa-gesa, tidak perlu dan agak angkuh. Pandangan seperti itu muncul, karena gerakan kaum republiken itu dianggap tidak memperhatikan semangat dan fasilitas yang ada dalam persetujuan KMB. Akan tetapi apabila diperhatikan jauh, gerakan tersebut bukan saja kuat, tetapi juga sehat. Secara sosial dan politik, Indonesia akan berada dalam keadaan yang tidak baik jika tidak ada perkembangan tersebut. Bagi kebanyakan orang Indonesia, sistem federal dianggap sebagai warisan kolonial sehingga harus segera diganti. Sistem itu dipandang sebagai alat pengawasan dan peninggalan Belanda. Oleh karena itu, sistem federal merupakan halangan bagi tercapainya kemerdekaan Indonesia yang lepas sama sekali dari Belanda. Dengan dasar pikiran itu, maka mempertahankan sistem federal berarti mempertahankan warisan penjajahan masa lampau yang tidak disukai masyarakat.
Meskipun demikian perjuangan kaum republiken untuk mewujudkan terbentuknya sebuah negara kesatuan bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Pada satu sisi, saat itu secara resmi masih tegak berdiri sebuah negara yang secara resmi berbentuk negara federal lengkap dengan alat-alat kenegaraannya. Dengan demikian, betapapun lemahnya pendukung sistem negara federal tersebut pasti masih ada di Indonesia. Oleh karena itu, perjuangan untuk mengembalikan bentuk negara dari federal menjadi kesatuan harus dilakukan dengan cara yang benar agar tidak dianggap sebagai pemberontakan kepada pemerintah yang sah. Pada sisi yang lainnya, saat itu tentara Belanda masih ada di Indonesia, lengkap dengan persenjataannya. Mereka ini merupakan pendukung kaum federalis. Dengan demikian, kaum republiken harus juga bersiap menghadapi konflik dengan tentara Belanda sebagai sebuah kesatuan resmi atau paling tidak pada oknum tentara Belanda.
Artikel sederhana ini hendak mengungkapkan bagaimana perkembangan yang terjadi di Indonesia menjelang terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Satu hal yang hendak dicari jawabannya dalam artikel ini adalah bagaimana hubungan antara kehadiran kekuatan asing dan perkembangan tata negara, terutama pada masa sekitar K M B. Selain itu hendak dibahas mengenai kondisi yang menyebabkan negara federal hasil K M B dengan cepat runtuh dan melebur ke dalam Negara R I.

B.      Kondisi Sosial - Politik di Indonesia Setelah K M B

Adanya halangan psikologis yang seperti itu, ternyata masih ditambah realitas politik yang berkembang saat itu. Dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Republik Indonesia (R I) yang sesungguhnya tidak lebih dari satu diantara 32 negara bagian yang ada, pada dasarnya masih tetap otonom. Kondisi itu terlihat karena secara administrasi R I tidak bergantung kepada R I S. Hal itu lebih diperparah lagi, dengan banyaknya pegawai negeri sipil dalam negara-negara bagian, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pasundan yang lebih mentaati aturan-aturan dari Ibukota RI Yogyakarta dibandingkan terhadap Jakarta. Keadaan itu seringkali menimbulkan administrasi ganda yang membingungkan. Ada dua kelompok pegawai negeri sipil yang berusaha mengatur teritorial yang sama dengan dua aturan yang sangat mungkin berbeda. Fenomena itu merupakan manifestasi politik pada masa sebelumnya. Pembentukan negaranegara bagian di berbagai wilayah Indonesia oleh Belanda, pada dasarnya eksistensinya tidak pernah diakui oleh Pemerintah R I di Yogyakarta. Tindakan yang kemudian diambil oleh Pemerintah R I adalah mendirikan pemerintahan bayangan di negara-negara bagian, mulai dari desa sampai ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Untuk menunjukkan eksistensi R I di daerah yang kemudian dikenal sebagai Bijenkomst voor Federaal Overleg (BFO) ini, dikirim uang O R I (Oeang Republik Indonesia). Dengan tindakan itu, maka secara ekonomis dan politis, R I masih eksis di wilayah B F O.[iii] Faktor lainnya adalah prestise R I yang tinggi karena dianggap sebagai pemenang perang dan perjuangan kemerdekaan. Prestise itu semakin meningkat dengan terjaminnya law and order di wilayah R I, kelancaran administrasi pemerintahan, dan korupsi
yang relatif tidak ada dibandingkan dengan negara-negara bagian lainnya.
Semua kondisi itu diperkuat dengan solidnya kaum republiken di tubuh pemerintahan R I S. Mulai dari Presiden R I S, Soekarno jelas merupakan seorang republiken yang pasti mendukung gerakan kembalinya negara kesatuan. Perdana Menteri Hatta dan kabinetnya juga didominasi oleh kaum republiken. Oleh karena itu, secara politis dan adminitratif kaum republiken sudah menguasai pemerintahan Negara R I S. Saat itu, dalam susunan kabinet Hatta yang dianggap mewakili kaum federalis hanya lima orang, yaitu; Anak Agung Gde Agung sebagai menteri dalam negeri, Kosasih sebagai menteri sosial, Arnold Mononutu sebagai menteri penerangan, Sultan Hamid II dan Suparmo sebagai menteri tanpa portopolio. Akan tetapi apabila diperhatikan lagi, diketahui bahwa meskipun Arnold Monomutu berasal dari B F O, sesungguhnya dalam parlemen Negara Indonesia Timur (N I T), dia merupakan kelompok prorepubliken.
Dengan demikian, dia dipandang lebih republiken daripada federalis. Dari semua anggota kabinet Hatta, yang sungguh-sungguh mendukung bentuk negara feral hanyalah Sultan Hamid II dan Anak Agung Gde Agung.
Pada sisi yang lainnya terdapat ambisi politik yang kuat dan terus dipelihara dalam tubuh Pemerintahan dan Negara R I untuk mengembalikan bentuk negara kesatuan di Indonesia. Hal itu dapat diketahui dengan ditempatkannya usaha untuk meneruskan perjuangan mencapai negara kesatuan yang meliputi seluruh Kepulauan Indonesia dalam program kabinet Dr. A. Halim, Perdana Menteri R I. Dorongan semangat yang lebih besar datang muncul karena dua kejadian. Pertama, ditariknya kekuatan militer Belanda di negara bagian yang tergabung dalam BFO. Kedua, berkaitan dengan yang pertama, kondisi tersenut menyebabkan dibebaskannya ribuan tahanan politik yang sangat pro-republiken dari berbagai penjara. Semua kondisi itu menyebabkan kekuatan gerakan persatuan menjadi lebih besar. Gerakan yang menentangnya hanya muncul di tempat-temapt di mana sejumlah kesatuan pasukan kolonial dan Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) belum didemobilisasi.
Kuatnya gerakan persatuan itu kemudian semakin bertambah kuat karena mayoritas masyarakat negara bagian juga tidak mendukung pembentukan negara-negara bagian tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembentukan negara-negara bagian sangat tidak memiliki dukungan yang kuat, kecuali dari Belanda. Oleh karena itu, ketika Belanda mulai melepaskan kontrolnya atas negara-negara bagian maka rakyat negara bagian itu bergerak menuntut untuk kembali kepada R I. Dengan kondisi itu, maka kejatuhan negara-negara bagian tinggal menunggu waktu saja. Oleh karena itu wajar apabila di berbagai negara bagian muncul gerakan yang menuntut pembubaran pemerintah daerahnya atau negara bagiannya. Gerakan semacam itu kemudian menuntut agar daerahnya digabungkan kepada R I.

C.      Gerakan Pembubaran Negara Federal di Daerah

Negara bagian yang memelopori pembubaran pemerintahannya adalah Pasundan. Tindakan itu dilakukan bahkan sebelum Pemerintahan R I S resmi terbentuk dan berkuasa di Indonesia. Jadi di Pasundan gerakan menentang bentuk federal sudah dilakukan bahkan ketika negara Indonesia belum resmi berbentuk federal. Kemunculan gerakan anti negara federal dimulai kuandengan adanya resolusi dari berbagai elemen masyarakat untuk menggabungkan wilayahnya dengan R I.
Keadaan itu sebagian besar disebabkan kurang mampunya Pemerintah Pasundan untuk memelihara keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Situasi itu mendorong adanya resolusi dari Indramayu yang diantaranya ditujukan kepada Presiden R I dan ketua Komite Nasional Indonesia Pusat. Isi resolusi itu mendesak Pemerintah R I S supaya sebelum pengkuan kedaulatan selekas mungkin mengubah status Jawa Barat menjadi daerah R I dengan cara menghapus Negara Bagian Pasundan. Tindakan itu dilakukan supaya keadaan di Jawa Barat aman tentram. Resolusi itu muncul berdasarkan kejadian di desa-desa yang keamanannya tidak terjamin. Hal itu membuktikan bahwa Negara Bagian Pasundan tidak dapat menjamin keamanan dan ketentraman rakyatnya.
Kondisi itu kemudian meluas dengan keputusan kepala desa di Tasik Malaya yang memutuskan hubungan dengan Pemerintah Pasundan dan memilih bergabung dengan R I. Lebih jauh lagi tindakan itu kemudian didukung oleh sebelas anggota Dewan Perwakilan Kabupaten Tasikmalaya. Dengan demikian peristiwa ”pembelotan” para kepala desa itu mendapatkan dukungan politis di tingkat pusat, sehingga mendapatkan legitimasi yang kuat secara politik. Dukungan rakyat Jawa Barat terhadap gerakan penyatuan semakin besar ketika terjadi peristiwa Westerling di Bandung pada awal 1950.
Semua kondisi itu telah merusak kedudukan dan reputasi kaum federalis. Apalagi sejak peristiwa Westerling timbul keyakinan di kalangan masyarakat bahwa beberapa pejabat tertentu Pemerintah Pasundan telah mengadakan semacam perjanjian dengan Westerling. Tuduhan itu menguat karena adanya kenyataan bahwa sejumlah anggota Pemerintahan Pasundan ternyata berkebangsaan Belanda. Mereka itu kebanyakan bertugas di bidang militer. Saat itu, sebagian perwira polisi dan Militer dalam tubuh Pasundan masih dijabat orang-orang Belanda. Mereka itulah yang kemudian membelot kepada Westerling.
Keadaan itu semakin memperkuat posisi kaum republiken di Parlemen Pasundan. Dimotori oleh Oli Setiadi dan Dr. Hasan Nata Begara Cs, mereka ini kemudian mendesak parlemen agar Negara pasundan dibubarkan saja.[xii] Dengan kondisi politik yang seperti itu, akhirnya melalui Keputusan Parlemen Pasundan 8 Maret 1950 dengan suara bulat diputuskan untuk menggabungkan Negara Pasundan ke dalam Negara R I.[xiii] Keputusan itu kemudian disahkan dengan lahirnya Surat Keputusan R I S No 113 tanggal 11 Maret 1950 yang menyatakan bahwa wilayah Pasundan termasuk ke dalam Negara R I. Pemerintah R I S di Jawa Barat kemudian diganti dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan gubernurnya yang dijabat oleh M. Sewaka, yang sebelumnya bertugas sebagai Komisaris R I S di Pasundan.
Meskipun demikian, negara bagian pertama yang secara resmi bergabung kembali dengan R I adalah Negara Bagian Sumatera Selatan. Pada tanggal 10 Februari 1950, Dewan Perwakilan Negara Bagian Sumatera Selatan mengadakan pemungutan suara untuk menyerahkan kekuasaan negara bagian itu kepada Pemerintah R I S. Peristiwa itu kemudian menjadi efek bola salju yang semakin lama semakin besar, karena kejadian di Sumatera Selatan segera diikuti oleh hampir semua negara bagian. Namun demikian ada kecenderungan untuk lebih memilih membubarkan negara bagian yang bersangkutan dan kemudian digabungkan ke dalam Negara Bagian R I. Dengan demikian, negara-negara bagian itu tidak membubarkan diri dan menyerahkan kekuasaannya kepada R I S, tetapi melebur ke dalam R I. Gerakan itu tidak ditentang oleh para pemimpin R I S. Mereka justru memberikan kesempatan kepada gerakan tersebut untuk meneruskan tindakannya.
Fenomena itu disebabkan gelombang pasang semangat nasionalis yang besar di kalangan anggota Senat R I S. Mereka itu percaya bahwa tujuan dan politik masa depan mereka harus disesuaikan dengan kondisi politik yang sedang berkembang saat itu. Oleh karena itu, mereka mengikuti kemauan Majelis Permusyawaratan[xv] dan Pemerintah R I S untuk mengeluarkan suatu undang-undang darurat berdasarkan Pasal 130 Kontitusi R I S yang berisi pembubaran negara-negara bagian dan digabungkan ke dalam R I. Undang-undang itu dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1950. Dua hari kemudian, diadakan pemungutan suara bagi persetujuan penggabungan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura ke dalam R I. Setelah itu, berbagai daerah dan negara bagian mengajukan permohonan untuk menggabungkan diri ke dalam R I. Sehingga pada akhir Maret 1950 tinggal empat negara bagian yang masih berdiri, yaitu Kalimantan Barat, Negara Sumatera Timur (NST), Negara Indonesia Timur (NIT) dan R I yang wilayahnya menjadi lebih luas.
Setelah Kalimantan Barat digabungkan ke dalam R I melalui sidang Majelis Permusyawaratan pada tanggal 22 April 1950,[xvii] maka tinggal tiga negara bagian dalam R I S, yaitu; R I, N S T, dan N I T. Masih kokohnya dua negara bagian terakhir itu disebabkan beberapa faktor. Berhubungan dengan kokohnya N I T sebagai negara bagian dalam R I S, terdapat banyak hal bersifat kompleks yang telah membentuk aliansi anti republik. Aliansi itu terdiri dari kaum bangsawan Melayu, bagian terbesar raja-raja Simalungun, beberapa Kepala Suku Karo, dan kebanyakan tokoh masyarakat Cina.[xviii] Mereka itu semua merasa kedudukannya terancam dengan berdirinya negara baru. Perasaan itu muncul karena selama tahun-tahun awal kemerdekaan terdapat pengalaman pahit berkaitan dengan tekanan kaum republik terutama kaum pemudanya yang sangat anti bangsawan. Oleh karena itu, bagi kaum bangsawan Sumatera Timur mereka mendambakan kembalinya Pemerintah Kolonial Belanda yang mampu menjamin kedudukan dan keselematannya. Dalam pandangan kaum bangswan Melayu, R I akan mengancam kelanjutan perlindungan dan keistimewaan yang mereka nikmati di bawah payung pemerintah kolonial. Kondisi itu kemudian ditambah munculnya kesadaran oleh para petani Melayu pada akhir 1945 bahwa ada keinginan di kalangan mayoritas penduduk non-Melayu untuk menghapus hak-hak istimewa kaum Melayu atas tanahnya.[xix] Sehingga mereka menyambut baik kalangancampur tangan Belanda di Sumatera Timur. Harapannya adalah dengan kembalinya Belanda, maka akan pulih kembali hak-hak adat penduduk Melayu maupun penduduk asli lainnya. Selain itu, tentu saja akan terjaga segala kepentingannya.
Bersamaan dengan itu beberapa anggota pribumi Pemerintah Kolonial yang kolot, terutama beberapa tokoh Batak karena takut terhadap penguasaan Pemerintah Republik oleh kaum ”ekstrimis” bergeser lebih jauh ke dalam kubu kaum anti-republik. Perasaan phobia terhadap kehadiran R I juga merasuki kaum Cina di Sumatera Timur. Mereka itu telah menderita di bawah tekanan kaum ”ekstrimis” republik. Bentuk fisik yang berbeda dengan penduduk asli, ditambah dengan kedudukan ekonomi yang lebih baik sehingga sering menimbulkan kecemburuan sosial.
Semua itu menjadikan orang-orang Cina sebagai sasaran kekejaman para pemuda ”pejuang”. Selama bulan-bulan awal revolusi sekelompok pemuda secara teratur merampoki toko-toko dan gudang-gudang milik orang Cina.[xxi] Sebagai jawabannya kemudian masyarakat Cina di Medan mendirikan kesatuan Poh An Tui, yaitu pasukan keamanan Cina yang dipersenjatai Inggris. Mereka ini meronda daerah pecinan di Medan, Binjai, dan Pemantang Siantar. Kesatuan tersebut bersama dengan pasukan Belanda turut serta mempersiapkan berdirinya N S T yang disponsori Belanda dan bangsawan setempat.[xxii] Secara riil, kelompok masyarakat yang tergabung dalam aliansi anti R I sesungguhnya hanya sepertiga saja dari jumlah seluruh pendukungnya. Akan tetapi dengan adanya perpecahan antar elit dan masyarakat membuat daerah itu mampu dimanfaatkan Belanda sebagai salah satu negara bagian dengan tokoh-tokoh dan pasukan militer yang kuat dan gigih menentang keberadaan R I di wilayahnya. Kombinasi dari semua faktor itu akhirnya mendukung lahirnya aliansi anti republik di Sumatera Timur. Keadaan itu membuat N S T masih berdiri hingga saat terakhir eksistensi R I S. Walaupun demikian, tidak berarti rakyat di Sumatera Timur tidak menghendaki pembubaran negara bagiannya dan memilih bergabung dengan R I. Selama revolusi fisik, di Sumatera Timur bahkan muncul berbagai macam kelompok bersenjata yang gigih berjuang melawan Belanda. Meskipun kontrol pemerintah pusat terhadap mereka sangat lemah, bahkan dapat dikatakan tidak ada sama sekali.
N I T mampu bertahan hingga akhir karena beberapa faktor. Pertama, Belanda sejak awal sudah memilih Indonesia Timur untuk dijadikan daerah utama yang akan bergabung dengan sebuah negara federal Indonesia Serikat. Di samping itu, ada satu hal yang penting yaitu; secara militer Belanda aktif di kawasan itu. Belanda sejak lama menjadikan daerah Ambon dan Minahasa sebagai keanggotaan K N I L.[xxiv] Dengan kondisi itu, tidak heran bila Indonesia Timur menjadi daerah pertama yang dijadikan Belanda sebagai daerah bagian yang akan bergabung ke dalam apa yang disebut Negara Indonesia Serikat. Indonesia timur dapat seperti itu karena Belanda mempunyai persiapan matang untuk kembali berkuasa di wilayah tersebut.
Kondisi itu disebabkan adanya dukungan kuat dari militer Australia yang ditugasi Sekutu untuk mengamankan kawasan tersebut terhadap Belanda. Oleh karena itu, para pejabat N I C A (Netherlands Indies Civil Administration) dengan leluasa dapat masuk ke wilayah Sulawesi dengan membonceng pasukan Sekutu, termasuk pasukan pelopor yang mendarat di Makassar 21 September 1945. Mereka itulah yang kemudian membebaskan semua tahanan Sekutu di Sulawesi Selatan dan menempatkan sekitar 3000 orang Belanda bekas tahan Jepang kembali ke Makassar. Keadaan itu memang berbeda dengan tindakan pasukan Inggris di Jawa yang tidak leluasa karena khawatir membahayakan keselamatan tahanan dan tawanan perang yang banyak jumlahnya. Pasukan Australia di Sulawesi relatif bebas untuk berurusan dengan pasukan Jepang ataupun dengan bekas pejabat lokal. Tujuan utama mereka adalah mendirikan pemerintahan yang dapat menjamin ketertiban umum dan mendapatkan beras dari daerah pedalaman bagi kebutuhan pangan penduduk
Makassar. Untuk itu mereka segera mengangkat para pejabat Belanda sebelum P D II. Beberapa diantaranya adalah interniran yang baru saja dibebaskan dari kamp tahanan Jepang, sebagai pejabat sementara pemerintahan sipil. Kondisi itu segera dipergunakan Belanda untuk membanjiri daerah-daerah yang diduduki Pasukan Australia dengan pasukan Belanda dan bekas pegawai pamong praja (Corps Binneland Bestuur), seperti residen, asisten residen, kontrolir atau jabatan lainnya. Dengan demikian sesungguhnya tentara Australia telah bekerja untuk kepentingan Belanda.
Dukungan terang-terangan pasukan sekutu (Australia) terhadap Belanda dapat diketahui dari maklumat Panglima Tentara Australia di Makassar Brigadir Jendral Chilton pada tanggal 29 Oktober 1945 yang isinya sangat menekan gerakan pemuda pendukung proklamasi kemerdekaan. Salah satu isinya adalah melarang orang memakai seragam militer atau uniform lain, selain anggota pasukan Sekutu atau polisi. Selain itu, dalam maklumat itu juga melarang penduduk untuk mengikuti latihan militer, memakai atau mempunyai segala macam senajat api dan senjata tajam, mengadakan pawai atau pertunjukan, dan sebagainya. Lebih lanjut Jendral Chilton bahkan telah melarang Gubernur Sulawesi saat itu Dr. G.S.S.J. Ratulangi untuk menjalankan tugasnya, karena pemerintaha sipil telah dijalankan oleh NICA dengan tanggung jawab dan perlindungan tentara Australia yang bertindak sebagai kesatuan Sekutu. Apabila perintah itu dilanggar oleh Dr. G.S.S.J. Ratulangi maka terhadapnya akan diambil tindakan penahanan.
Posisi Belanda semakin kuat dengan diijinkannya Pemerintah Belanda menempatkan seorang berpangkat Chief Commanding Officer NICA (Chief Co-NICA) di Morotai mendampingi Panglima Tertinggi Tentara Australia. Chief Co-NICA ini mempunyai wewenang seluruh wilayah Indonesia Timur dan Kalimantan (kecuali Bali). Selain itu dia juga membawahi semua petugas NICA yang ada di Indonesia Timur. Dengan kesempatan yang diberikan oleh Pasukan Australia, Belanda dalam waktu singkat berhasil mengembalikan fungsi aparat pemerintahannya di wilayah Indonesia bagian timur. Semuanya itu jelas mempunyai pengaruh atas perkembangan politik di wilayah yang bersangkutan. Oleh karena dengan persiapan matang itulah, maka secara politis wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku yang kemudian disebut sebagai Indonesia Timur menjadi salah satu daerah yang secara politis cukup kuat untuk menjadi semacam daerah yang berdiri sendiri terpisah dengan Pemerintah R I di Yogyakarta. Hal itulah yang menyebabkan N I T dapat bertahan lama menjadi daerah bagian dalam wilayah federal R I S. Semua kondisi itu kemudian ditambah dengan adanya dukungan yang datang dari para aristokrat, terutama mereka yang telah diangkat sebagai pengganti para kepala dan penguasa yang pro-RI. Sehingga kedudukannya sangat tergantung kepada keberadaan dan dukungan
Belanda. Mereka itu biasanya adalah para bekas Binneland Bestuur (pamong praja) yang dulunya bekerja untuk Belanda pada masa kolonial. Oleh karena itu wajar apabila kemudian bekerja kembali untuk tuannya itu. Bersama-sama dengan polisi lokal yang dipekerjakan di bawah kekuasaan dan tanggung jawab Pemerintah Indonesia Timur melalui SK Letnan Gubernur Jendral 14 Maret 1946 No 3 dan SK Komisariat Pemerintahan Umum untuk Borneo dan Timur Besar tanggal 14 Maret 1946 No
ARC 1/9/43 dan No ARC 1/9/7. Kondisi itu berarti semua residen, asisten residen, kontrolir, dan  pamong praja Indonesia seperti bestuur assistant, menteri polisi dan pegawai administrasi lainnya, demikian juga dengan pegawai kepolisian dari Hoofkomisaris sampi pangkat terendah yang dulunya dipekerjakan di wilayah Indonesia Timur mulai saat itu ada di bawah kekuasaan dan tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri N I T.
Dengan semua latar belakang yang seperti itu wajar apabila N I T mampu bertahan hingga akhir dalam tubuh R I S. Meskipun demikian dalam wilayah N I T dapat pula diketemukan gerakan perlawanan terhadap Belanda yang sangat keras, bahkan tidak kalah kerasnya dibandingkan yang ada di Jawa. Akan tetapi, karena kuatnya militer Belanda di sana, maka gerakan kaum republiken dapat diatasi oleh Belanda dan para kolaboratirnya. Pada akhirnya ketika militer Belanda ditarik dari wilayah itu, maka kaum federalis mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mampu bertahan dari arus republiken. Hal itu semakin jelas ketika ribuan tahanan politik yang semuanya kaum republiken dibebaskan, maka tuntutan terhadap pembibaran N I T dan penggabungan ke dalam R I semakin nyata dan kuat. Sehubungan dengan semakin kuatnya gerakan pro-republik, maka tanggapan yang diberikan oleh elit N I T ada dua cara. Pertama, mereka berusaha mencegah gerakan tersebut. Akan tetapi ketika gerakan itu semakin kuat, maka mereka berusaha memisahkan diri dengan membentuk negara terpisah dari Indonesia. Gerakan ini dipimpin oleh Dr. Soumokil cs yang berusaha mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS). Sedangkan yang lainnya berusha untuk meleburkan diri ke dalam tuntutan masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Presiden N I T Sukawati, Menteri Dalam Negeri Daeng Passewang dan lainnya yang ada dalam kabinet terakhir N I T. Sesungguhnya kabinet terakhir N I T berisi tokoh-tokoh yang siap meleburkan N I T ke dalam R I.[xxx] Oleh karena itu proses perubahan R I S menjadi negara kesatuan dapat berjalan tanpa hambatan dalam tataran politis.

D.      Peleburan Federal Menjadi Negara Kesatuan

Dengan semua perkembangan politik di Indonesia itu memaksa para elit yang ada di N I T dan N S T untuk berunding dengan pemerintah R I S. Oleh karena itu, dari tanggal 3 sampai 5 Mei 1950 diadakan perundingan antara PM R I S M. Hatta, Presiden N I T Sukawati, dan PM NST Dr. Mansyur. Hasilnya adalah disetujuinya pembentukan suatu negara kesatuan. Akan tetapi, pada tanggal 13 Mei 1950 Dewan Sumatera Timur menentang keputusan itu. Meskipun demikian, Dewan Sumatera Timur masih bersedia menerima pembubaran R I S dengan syarat N S T dileburkan ke dalam R I S bukan ke dalam R I. Walaupun ada dukungan kuat dari sebagian besar penduduk Sumatera Timur, tetapi PM Hatta mendukung Dewan N S T. Keputusan Hatta itu didasari situasi di Sumatera Timur yang masih rapuh untuk bergabung dengan R I. Hatta berpikir bahwa apabila diambil jalan penggabungan N S T langsung ke dalam R I, mungkin dapat mendorong para bekas K N I L yang saat itu masih menjadi anggota batalyon keamanan N S T untuk memberontak sebagaimana tindakan yang diambil teman-temannya di Ambon. Sehubungan dengan hasil konferensi antara Hatta, Mansyur dan Sukawati, maka sebagai tindak lanjut diadakan perundingan antara PM-R I S Hatta yang mewakili N I T beserta dengan N S T di satu pihak dan PM-RI A. Halim pada pihak lainnya. Hasilnya adalah tercapainya persetujuan pada tanggal 19 Mei 1950 diantara kedua belah pihak untuk membentuk N K R I. Persoalannya adalah bagaimana cara untuk membentuk sebuah negara kesatuan, sebagaimana yang dikenhendaki seluruh rakyat Indonesia. Pilihan yang diambil para pemimpin Indonesia adalah dengan cara mengubah Konstitusi R I S. Pilihan ini diambil karena apabila semua negara bagian melebur ke dalam R I S (R I akan menjadi satu-satunya negara bagian dari R I S, sehingga R I S akhirnya terlikuidasi) akan menimbulkan berbagai macam kesulitan. Pertama, akan timbul masalah dengan para bekas anggota K N I L. Di samping itu ada alasan penting lainnya menyangkut hubungan dengan luar negeri. Jika seluruh negara bagian bergabung dengan R I, maka akan timbul kesulitan. Persoalannya adalah R I yang masih eksis adalah R I sebagai negara bagian R I S(sebagai akibat persetujuan KMB). Padahal yang menyelenggarakan hubungan luar negeri adalah R I S yang telah dilikuidasi. Dengan perkataan lain proses kembali dari R I S ke N K R I melalui cra ini berarti peleburan negara yang telah mendapat pengakuan internasional dengan memunculkan sebuah negara baru. Oleh karena itu agar pengakuan dunia internasional tetap terpelihara secarayuridis, maka pembubaran R I S harus dihindari.
Satu pilihan cerdik akhirnya diambil, yaitu dengan jalan mengubah konstitusi R I S. Jadi secara yuridis N K R I adalah perubahan dari R I S sebagai negara federal menjadi negara berbentuk kesatuan. Melalui cara itu terhindar permasalahan berkaitan dengan dunia internasional. Apabila R I S dibubarkan dan digantikan oleh R I sebagai negara bagian dalam tubuh R I S, maka negara baru yang muncul itu tidak dapat menjalankan hubungan internasional secara yuridis formal. Hal itu disebabkan R I sebagai negara bagian tidak dapat menyelenggarakan hubungan internasional. Akan lain persoalannya apabila R I S berganti menjadi negara kesatuan. Secara yuridis tidak akan ada permasalahan dengan dunia internasional, karena yang berubah hanya konstitusinya saja, bukan negaranya.

E.       Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa bahwa perkembangan masalah ketatanegaraan Indonesia masa revolusi sangat erat kaitannya dengan kehadiran kekuatan asing. Indonesia mengalami perubahan bentuk negara dari kesatuan menjadi negara federal bukan saja disebabkan
oleh faktor dalam negeri, tetapi ada hubungannya dengan kehadiran Belanda dan Australia. Kuatnya keinginan Belanda sebagai negara koloni untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaannya di Indonesia membuat negara ini sempat mengalami perubahan bentuk negara. Selain itu, masih ada satu faktor lagi yaitu adanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang merasa lebih nyaman dan tenang di bawah payung kolonial Belanda membuat ide negara federal dapat hidup dan bertahan selama masa sekitar K M B. Kehadiran pasukan Belanda dengan kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan militer Indonsia, yang baru terdiri dari pemuda pejuang menjadikan pendukung ide negara federal di beberapa tempat berada di atas angin. Oleh karena itulah, negara federal dalam bentuk R I S sempat terwujud melalui KMB, meskipun hanya seumur jagung. Terjadinya perubahan dari negara federal menjadi negara kesatuan tidak dapat disangkal disebabkan dukungan politik dari masyarakat Indonesia terhadap ide negara federal sesungguhnya sangat lemah. Ide negara federal muncul dari ambisi politik orang-orang Belanda yang agaknya takut negerinya tidak lagi mempunyai peran di Asia. Oleh karena itulah ketika masalah kemerdekaan Indonesia sudah tidak dapat ditawar lagi, mereka memperkenalkan ide mengenai pembentukan negara federal. Akan tetapi, ide ide hanya didukung oleh sebagain kecil masyarakat Indonesia, yaitu mereka yang pernah merasakan nikmatnya hidup dalam lindungan kekuasaan kolonial Belanda. Hal itu terbutki ketika sebagian besar pasukan Belanda mulai ditarik dari Indonesia. Bersamaan dengan itu dibebaskannya tahanan politik yang sebagaian besar merupakan elit politik pro-republik membuat desakan masyarakat untuk mengganti negara federal kepada bentuk negara kesatuan semakin kuat. Dengan demikian jatuhnya negara federal tinggal menunggu waktu setelah situasi politik di Indonesia benar-benar berubah.

0 Komentar dari mu,,:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Blogger Template by Blogcrowds