BAB I N.K.R.I
Sejarah Negara Republik Indonesia Serikat
Menjadi
Negara
Kesatuan Republik Indonesia
A. Pendahuluan
Awal tahun 1950 merupakan
periode krusial bagi Indonesia. Pertentangan dan konflik untuk menentukan bentuk negara bagi
Bangsa dan Negara Indonesia tengah berlangsung. Pada satu sisi, secara resmi saat itu Indonesia
merupakan negara federal, sebagaimana hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB).
Akan tetapi, pada saat yang bersamaan muncul gerakan yang menentang keberadaan negara
federal itu. Gerakan ini eksis bukan saja di kalangan elit, tetapi juga di kalangan masyarkat
bawah. Gerakan tersebut menghendaki diubahnya bentuk negara federal menjadi negara kesatuan.
Oleh banyak pengamat luar negeri
gerakan itu dianggap terlalu dini, tergesa-gesa, tidak perlu dan agak angkuh. Pandangan
seperti itu muncul, karena gerakan kaum republiken itu dianggap tidak memperhatikan
semangat dan fasilitas yang ada dalam persetujuan KMB. Akan tetapi apabila diperhatikan
jauh, gerakan tersebut bukan saja kuat, tetapi juga sehat. Secara sosial dan politik, Indonesia akan
berada dalam keadaan yang tidak baik jika tidak ada perkembangan tersebut. Bagi kebanyakan orang
Indonesia, sistem federal dianggap sebagai warisan kolonial sehingga harus segera diganti.
Sistem itu dipandang sebagai alat pengawasan dan peninggalan Belanda. Oleh karena itu, sistem
federal merupakan halangan bagi tercapainya kemerdekaan Indonesia yang lepas sama sekali
dari Belanda. Dengan dasar pikiran itu, maka mempertahankan sistem federal berarti
mempertahankan warisan penjajahan masa lampau yang tidak disukai masyarakat.
Meskipun demikian perjuangan
kaum republiken untuk mewujudkan terbentuknya sebuah negara kesatuan bukan merupakan
pekerjaan yang mudah. Pada satu sisi, saat itu secara resmi masih tegak berdiri sebuah
negara yang secara resmi berbentuk negara federal lengkap dengan alat-alat kenegaraannya. Dengan
demikian, betapapun lemahnya pendukung sistem negara federal tersebut pasti masih ada di
Indonesia. Oleh karena itu, perjuangan untuk mengembalikan bentuk negara dari federal menjadi
kesatuan harus dilakukan dengan cara yang benar agar tidak dianggap sebagai pemberontakan kepada
pemerintah yang sah. Pada sisi yang lainnya, saat itu tentara Belanda masih ada di Indonesia,
lengkap dengan persenjataannya. Mereka ini merupakan pendukung kaum federalis. Dengan
demikian, kaum republiken harus juga bersiap menghadapi konflik dengan tentara Belanda
sebagai sebuah kesatuan resmi atau paling tidak pada oknum tentara Belanda.
Artikel sederhana ini hendak
mengungkapkan bagaimana perkembangan yang terjadi di Indonesia menjelang terbentuknya
kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Satu hal yang hendak dicari jawabannya dalam
artikel ini adalah bagaimana hubungan antara kehadiran kekuatan asing dan perkembangan
tata negara, terutama pada masa sekitar K M B. Selain itu hendak dibahas mengenai kondisi
yang menyebabkan negara federal hasil K M B dengan cepat runtuh dan melebur ke dalam Negara R I.
B. Kondisi Sosial - Politik di
Indonesia Setelah K M B
Adanya halangan psikologis yang
seperti itu, ternyata masih ditambah realitas politik yang berkembang saat itu. Dalam
negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Republik Indonesia (R I) yang sesungguhnya tidak lebih
dari satu diantara 32 negara bagian yang ada, pada dasarnya masih tetap otonom. Kondisi itu
terlihat karena secara administrasi R I tidak bergantung kepada R I S. Hal itu lebih diperparah lagi,
dengan banyaknya pegawai negeri sipil dalam negara-negara bagian, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur
dan Pasundan yang lebih mentaati aturan-aturan dari Ibukota RI Yogyakarta dibandingkan
terhadap Jakarta. Keadaan itu seringkali menimbulkan administrasi ganda yang membingungkan. Ada
dua kelompok pegawai negeri sipil yang berusaha mengatur teritorial yang sama dengan dua
aturan yang sangat mungkin berbeda. Fenomena itu merupakan manifestasi politik pada masa
sebelumnya. Pembentukan negaranegara bagian di berbagai wilayah Indonesia oleh Belanda, pada
dasarnya eksistensinya tidak pernah
diakui oleh Pemerintah R I di Yogyakarta. Tindakan yang kemudian diambil oleh Pemerintah R I adalah mendirikan
pemerintahan bayangan di negara-negara bagian, mulai dari desa sampai ke tingkat yang
lebih tinggi lagi. Untuk menunjukkan eksistensi R I di daerah yang kemudian dikenal sebagai Bijenkomst
voor Federaal Overleg (BFO) ini, dikirim uang O R I (Oeang Republik Indonesia).
Dengan tindakan itu, maka secara ekonomis dan politis, R I masih eksis di wilayah B F O.[iii]
Faktor lainnya adalah prestise R I yang tinggi karena dianggap sebagai pemenang perang dan
perjuangan kemerdekaan. Prestise itu semakin meningkat dengan terjaminnya law and order di
wilayah R I, kelancaran administrasi pemerintahan, dan korupsi
yang relatif tidak ada
dibandingkan dengan negara-negara bagian lainnya.
Semua kondisi itu diperkuat
dengan solidnya kaum republiken di tubuh pemerintahan R I S. Mulai dari Presiden R I S,
Soekarno jelas merupakan seorang republiken yang pasti mendukung gerakan kembalinya
negara kesatuan. Perdana Menteri Hatta dan kabinetnya juga didominasi oleh kaum republiken.
Oleh karena itu, secara politis dan adminitratif kaum republiken sudah menguasai
pemerintahan Negara R I S. Saat itu, dalam susunan kabinet Hatta yang dianggap mewakili kaum
federalis hanya lima orang, yaitu; Anak Agung Gde Agung sebagai menteri dalam negeri,
Kosasih sebagai menteri sosial, Arnold Mononutu sebagai menteri penerangan, Sultan Hamid II dan
Suparmo sebagai menteri tanpa portopolio. Akan tetapi apabila diperhatikan lagi, diketahui
bahwa meskipun Arnold Monomutu berasal dari B F O, sesungguhnya dalam parlemen
Negara Indonesia Timur (N I T), dia merupakan kelompok prorepubliken.
Dengan demikian, dia dipandang
lebih republiken daripada federalis. Dari semua anggota kabinet Hatta, yang sungguh-sungguh mendukung bentuk
negara feral hanyalah Sultan Hamid
II dan Anak Agung Gde Agung.
Pada sisi yang lainnya terdapat
ambisi politik yang kuat dan terus dipelihara dalam tubuh Pemerintahan dan Negara R I
untuk mengembalikan bentuk negara kesatuan di Indonesia. Hal itu dapat diketahui dengan
ditempatkannya usaha untuk meneruskan perjuangan mencapai negara kesatuan yang meliputi seluruh
Kepulauan Indonesia dalam program kabinet Dr. A. Halim, Perdana Menteri R I. Dorongan
semangat yang lebih besar datang muncul karena dua kejadian. Pertama, ditariknya
kekuatan militer Belanda di negara bagian yang tergabung dalam BFO. Kedua, berkaitan dengan
yang pertama, kondisi tersenut menyebabkan dibebaskannya ribuan tahanan politik yang
sangat pro-republiken dari berbagai penjara. Semua kondisi itu menyebabkan kekuatan gerakan
persatuan menjadi lebih besar. Gerakan yang menentangnya hanya muncul di tempat-temapt di
mana sejumlah kesatuan pasukan kolonial dan Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) belum didemobilisasi.
Kuatnya gerakan persatuan itu
kemudian semakin bertambah kuat karena mayoritas masyarakat negara bagian juga tidak mendukung pembentukan negara-negara
bagian tersebut. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa pembentukan negara-negara bagian sangat tidak memiliki dukungan yang kuat,
kecuali dari Belanda. Oleh karena itu, ketika Belanda mulai melepaskan kontrolnya atas
negara-negara bagian maka rakyat negara bagian itu bergerak menuntut untuk kembali kepada R
I. Dengan kondisi itu, maka kejatuhan negara-negara bagian tinggal menunggu waktu saja.
Oleh karena itu wajar apabila di berbagai negara bagian muncul gerakan yang menuntut pembubaran
pemerintah daerahnya atau negara bagiannya. Gerakan semacam itu kemudian menuntut
agar daerahnya digabungkan kepada R I.
C. Gerakan Pembubaran Negara
Federal di Daerah
Negara bagian yang memelopori
pembubaran pemerintahannya adalah Pasundan. Tindakan itu dilakukan bahkan sebelum
Pemerintahan R I S resmi terbentuk dan berkuasa di Indonesia. Jadi di Pasundan gerakan menentang
bentuk federal sudah dilakukan bahkan ketika negara Indonesia belum resmi berbentuk federal.
Kemunculan gerakan anti negara federal dimulai kuandengan adanya resolusi dari berbagai
elemen masyarakat untuk menggabungkan wilayahnya dengan R I.
Keadaan itu sebagian besar
disebabkan kurang mampunya Pemerintah Pasundan untuk memelihara keamanan dan
ketertiban di wilayahnya. Situasi itu mendorong adanya resolusi dari Indramayu yang diantaranya
ditujukan kepada Presiden R I dan ketua Komite Nasional Indonesia Pusat. Isi resolusi itu mendesak
Pemerintah R I S supaya sebelum pengkuan kedaulatan selekas mungkin mengubah status Jawa
Barat menjadi daerah R I dengan cara menghapus Negara Bagian Pasundan. Tindakan itu dilakukan
supaya keadaan di Jawa Barat aman tentram. Resolusi itu muncul berdasarkan kejadian di
desa-desa yang keamanannya tidak terjamin. Hal itu membuktikan bahwa Negara Bagian
Pasundan tidak dapat menjamin keamanan dan ketentraman rakyatnya.
Kondisi itu kemudian meluas
dengan keputusan kepala desa di Tasik Malaya yang memutuskan hubungan dengan Pemerintah Pasundan dan memilih
bergabung dengan R I. Lebih jauh
lagi tindakan itu kemudian didukung oleh sebelas anggota Dewan Perwakilan
Kabupaten Tasikmalaya.
Dengan demikian peristiwa ”pembelotan” para kepala desa itu mendapatkan dukungan politis di tingkat
pusat, sehingga mendapatkan legitimasi yang kuat secara politik. Dukungan rakyat Jawa Barat
terhadap gerakan penyatuan semakin besar ketika terjadi peristiwa Westerling di Bandung pada awal
1950.
Semua kondisi itu telah merusak
kedudukan dan reputasi kaum federalis. Apalagi sejak peristiwa Westerling timbul
keyakinan di kalangan masyarakat bahwa beberapa pejabat tertentu Pemerintah Pasundan telah
mengadakan semacam perjanjian dengan Westerling. Tuduhan itu menguat karena adanya kenyataan
bahwa sejumlah anggota Pemerintahan Pasundan ternyata berkebangsaan Belanda. Mereka
itu kebanyakan bertugas di bidang militer. Saat itu, sebagian perwira polisi dan Militer dalam
tubuh Pasundan masih dijabat orang-orang Belanda. Mereka itulah yang kemudian membelot
kepada Westerling.
Keadaan itu semakin memperkuat
posisi kaum republiken di Parlemen Pasundan. Dimotori oleh Oli Setiadi dan Dr. Hasan Nata Begara Cs,
mereka ini kemudian mendesak parlemen
agar Negara pasundan dibubarkan saja.[xii] Dengan kondisi politik yang seperti
itu, akhirnya
melalui Keputusan Parlemen Pasundan 8 Maret 1950 dengan suara bulat diputuskan untuk menggabungkan Negara
Pasundan ke dalam Negara R I.[xiii] Keputusan itu kemudian disahkan dengan lahirnya Surat
Keputusan R I S No 113 tanggal 11 Maret 1950 yang menyatakan bahwa wilayah Pasundan termasuk
ke dalam Negara R I. Pemerintah R I S di Jawa Barat kemudian diganti dengan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan gubernurnya yang dijabat oleh M. Sewaka, yang sebelumnya bertugas
sebagai Komisaris R I S di Pasundan.
Meskipun demikian, negara bagian
pertama yang secara resmi bergabung kembali dengan R I adalah Negara Bagian
Sumatera Selatan. Pada tanggal 10 Februari 1950, Dewan Perwakilan Negara Bagian Sumatera Selatan
mengadakan pemungutan suara untuk menyerahkan kekuasaan negara bagian itu kepada
Pemerintah R I S. Peristiwa itu kemudian menjadi efek bola salju yang semakin lama semakin besar,
karena kejadian di Sumatera Selatan segera diikuti oleh hampir semua negara bagian. Namun
demikian ada kecenderungan untuk lebih memilih membubarkan negara bagian yang bersangkutan
dan kemudian digabungkan ke dalam Negara Bagian R I. Dengan demikian, negara-negara
bagian itu tidak membubarkan diri dan menyerahkan kekuasaannya kepada R I S, tetapi melebur ke dalam R I.
Gerakan itu tidak ditentang oleh para pemimpin R I S. Mereka justru memberikan kesempatan kepada
gerakan tersebut untuk meneruskan
tindakannya.
Fenomena itu disebabkan
gelombang pasang semangat nasionalis yang besar di kalangan anggota Senat R I S. Mereka itu
percaya bahwa tujuan dan politik masa depan mereka harus disesuaikan dengan kondisi
politik yang sedang berkembang saat itu. Oleh karena itu, mereka mengikuti kemauan Majelis
Permusyawaratan[xv] dan Pemerintah R I S untuk mengeluarkan suatu undang-undang darurat
berdasarkan Pasal 130 Kontitusi R I S yang berisi pembubaran negara-negara bagian dan
digabungkan ke dalam R I. Undang-undang itu dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1950. Dua hari
kemudian, diadakan pemungutan suara bagi persetujuan penggabungan Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Madura ke dalam R I. Setelah itu, berbagai daerah dan negara bagian mengajukan
permohonan untuk menggabungkan diri ke dalam R I. Sehingga pada akhir Maret 1950 tinggal
empat negara bagian yang masih berdiri, yaitu Kalimantan Barat, Negara Sumatera Timur (NST),
Negara Indonesia Timur (NIT) dan R I yang wilayahnya menjadi lebih luas.
Setelah Kalimantan Barat
digabungkan ke dalam R I melalui sidang Majelis Permusyawaratan pada tanggal 22 April 1950,[xvii] maka
tinggal tiga negara bagian dalam R I S, yaitu; R I, N S T, dan N I T. Masih kokohnya dua negara
bagian terakhir itu disebabkan beberapa faktor. Berhubungan dengan kokohnya N I T sebagai negara
bagian dalam R I S, terdapat banyak hal bersifat kompleks yang telah membentuk aliansi anti
republik. Aliansi itu terdiri dari kaum bangsawan Melayu, bagian terbesar raja-raja Simalungun,
beberapa Kepala Suku Karo, dan kebanyakan
tokoh masyarakat Cina.[xviii] Mereka itu semua merasa kedudukannya terancam dengan berdirinya negara baru.
Perasaan itu muncul karena selama tahun-tahun awal kemerdekaan terdapat pengalaman
pahit berkaitan dengan tekanan kaum republik terutama kaum pemudanya yang sangat anti
bangsawan. Oleh karena itu, bagi kaum bangsawan Sumatera Timur mereka mendambakan kembalinya
Pemerintah Kolonial Belanda yang mampu menjamin kedudukan dan keselematannya. Dalam pandangan kaum bangswan
Melayu, R I akan mengancam kelanjutan
perlindungan dan keistimewaan yang mereka nikmati di bawah payung pemerintah kolonial. Kondisi itu kemudian
ditambah munculnya kesadaran oleh para petani Melayu pada akhir 1945 bahwa ada keinginan
di kalangan mayoritas penduduk non-Melayu untuk menghapus hak-hak istimewa kaum Melayu
atas tanahnya.[xix] Sehingga mereka menyambut baik kalangancampur tangan Belanda di
Sumatera Timur. Harapannya adalah dengan kembalinya Belanda, maka akan pulih kembali
hak-hak adat penduduk Melayu maupun penduduk asli lainnya. Selain itu, tentu saja akan terjaga segala
kepentingannya.
Bersamaan dengan itu beberapa
anggota pribumi Pemerintah Kolonial yang kolot, terutama beberapa tokoh Batak karena takut terhadap
penguasaan Pemerintah Republik oleh kaum ”ekstrimis” bergeser lebih jauh ke dalam kubu kaum
anti-republik. Perasaan phobia terhadap kehadiran R I juga merasuki kaum Cina di Sumatera Timur.
Mereka itu telah menderita di bawah tekanan kaum ”ekstrimis” republik. Bentuk fisik yang berbeda
dengan penduduk asli, ditambah dengan
kedudukan ekonomi yang lebih baik sehingga sering menimbulkan kecemburuan
sosial.
Semua itu menjadikan orang-orang
Cina sebagai sasaran kekejaman para pemuda ”pejuang”. Selama bulan-bulan awal revolusi
sekelompok pemuda secara teratur merampoki toko-toko dan gudang-gudang milik orang
Cina.[xxi] Sebagai jawabannya kemudian masyarakat Cina di Medan mendirikan kesatuan Poh An Tui,
yaitu pasukan keamanan Cina yang dipersenjatai Inggris. Mereka ini meronda daerah
pecinan di Medan, Binjai, dan Pemantang Siantar. Kesatuan tersebut bersama dengan pasukan Belanda
turut serta mempersiapkan berdirinya N S T yang disponsori Belanda dan bangsawan
setempat.[xxii] Secara riil, kelompok masyarakat yang tergabung dalam aliansi anti R I sesungguhnya
hanya sepertiga saja dari jumlah seluruh pendukungnya. Akan tetapi dengan adanya perpecahan
antar elit dan masyarakat membuat daerah itu mampu dimanfaatkan Belanda sebagai
salah satu negara bagian dengan tokoh-tokoh dan pasukan militer yang kuat dan gigih menentang
keberadaan R I di wilayahnya. Kombinasi
dari semua faktor itu akhirnya mendukung lahirnya aliansi anti republik di Sumatera Timur. Keadaan itu
membuat N S T masih berdiri hingga saat terakhir eksistensi R I S. Walaupun demikian, tidak berarti
rakyat di Sumatera Timur tidak menghendaki pembubaran negara bagiannya dan memilih
bergabung dengan R I. Selama revolusi fisik, di Sumatera Timur bahkan muncul berbagai macam
kelompok bersenjata yang gigih berjuang melawan Belanda. Meskipun kontrol pemerintah
pusat terhadap mereka sangat lemah, bahkan dapat dikatakan tidak ada sama sekali.
N I T mampu bertahan hingga
akhir karena beberapa faktor. Pertama, Belanda sejak awal sudah memilih Indonesia Timur
untuk dijadikan daerah utama yang akan bergabung dengan sebuah negara federal Indonesia
Serikat. Di samping itu, ada satu hal yang penting yaitu; secara militer Belanda aktif di kawasan
itu. Belanda sejak lama menjadikan daerah Ambon dan Minahasa sebagai keanggotaan K N
I L.[xxiv] Dengan kondisi itu, tidak heran bila Indonesia Timur menjadi daerah pertama
yang dijadikan Belanda sebagai daerah bagian yang akan bergabung ke dalam apa yang
disebut Negara Indonesia Serikat. Indonesia timur dapat seperti itu karena Belanda mempunyai
persiapan matang untuk kembali berkuasa di wilayah tersebut.
Kondisi itu disebabkan adanya
dukungan kuat dari militer Australia yang ditugasi Sekutu untuk mengamankan kawasan
tersebut terhadap Belanda. Oleh karena itu, para pejabat N I C A (Netherlands Indies Civil
Administration) dengan leluasa dapat masuk ke wilayah Sulawesi dengan membonceng pasukan
Sekutu, termasuk pasukan pelopor yang mendarat di Makassar 21 September 1945. Mereka itulah
yang kemudian membebaskan semua tahanan Sekutu di Sulawesi Selatan dan menempatkan sekitar
3000 orang Belanda bekas tahan Jepang kembali ke Makassar. Keadaan
itu memang berbeda dengan tindakan pasukan Inggris di Jawa yang tidak leluasa karena
khawatir membahayakan keselamatan tahanan dan tawanan perang yang banyak jumlahnya. Pasukan
Australia di Sulawesi relatif bebas untuk berurusan dengan pasukan Jepang ataupun dengan bekas
pejabat lokal. Tujuan
utama mereka adalah mendirikan pemerintahan yang dapat menjamin ketertiban umum dan mendapatkan beras dari
daerah pedalaman bagi kebutuhan pangan penduduk
Makassar. Untuk itu mereka
segera mengangkat para pejabat Belanda sebelum P D II. Beberapa diantaranya adalah interniran
yang baru saja dibebaskan dari kamp tahanan Jepang, sebagai pejabat sementara pemerintahan
sipil. Kondisi itu segera dipergunakan Belanda untuk membanjiri daerah-daerah yang diduduki
Pasukan Australia dengan pasukan Belanda dan bekas pegawai pamong praja (Corps Binneland
Bestuur), seperti residen, asisten residen, kontrolir atau jabatan lainnya. Dengan demikian
sesungguhnya tentara Australia telah bekerja untuk kepentingan Belanda.
Dukungan terang-terangan pasukan
sekutu (Australia) terhadap Belanda dapat diketahui dari maklumat Panglima Tentara
Australia di Makassar Brigadir Jendral Chilton pada tanggal 29 Oktober 1945 yang isinya sangat
menekan gerakan pemuda pendukung proklamasi kemerdekaan. Salah satu isinya adalah
melarang orang memakai seragam militer atau uniform lain, selain anggota pasukan Sekutu atau
polisi. Selain itu, dalam maklumat itu juga melarang penduduk untuk mengikuti latihan militer,
memakai atau mempunyai segala macam senajat api dan senjata tajam, mengadakan pawai atau
pertunjukan, dan sebagainya. Lebih lanjut Jendral Chilton bahkan telah melarang Gubernur Sulawesi
saat itu Dr. G.S.S.J. Ratulangi untuk menjalankan tugasnya, karena pemerintaha sipil telah
dijalankan oleh NICA dengan tanggung jawab dan perlindungan tentara Australia yang bertindak
sebagai kesatuan Sekutu. Apabila perintah itu dilanggar oleh Dr. G.S.S.J. Ratulangi maka
terhadapnya akan diambil tindakan penahanan.
Posisi Belanda semakin kuat
dengan diijinkannya Pemerintah Belanda menempatkan seorang berpangkat Chief
Commanding Officer NICA (Chief Co-NICA) di Morotai mendampingi Panglima Tertinggi Tentara
Australia. Chief Co-NICA ini mempunyai wewenang seluruh wilayah Indonesia Timur dan Kalimantan
(kecuali Bali). Selain itu dia juga membawahi semua petugas NICA yang ada di Indonesia
Timur. Dengan kesempatan yang diberikan oleh Pasukan Australia, Belanda dalam waktu singkat
berhasil mengembalikan fungsi aparat pemerintahannya di wilayah Indonesia bagian timur. Semuanya
itu jelas mempunyai pengaruh atas perkembangan politik di wilayah yang bersangkutan. Oleh
karena dengan persiapan matang itulah, maka secara politis wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara
dan Maluku yang kemudian disebut sebagai Indonesia Timur menjadi salah satu daerah yang
secara politis cukup kuat untuk menjadi semacam daerah yang berdiri sendiri terpisah dengan
Pemerintah R I di Yogyakarta. Hal itulah yang menyebabkan N I T dapat bertahan lama menjadi
daerah bagian dalam wilayah federal R I S. Semua kondisi itu kemudian ditambah dengan adanya dukungan
yang datang dari para aristokrat,
terutama mereka yang telah diangkat sebagai pengganti para kepala dan penguasa
yang pro-RI.
Sehingga kedudukannya sangat tergantung kepada keberadaan dan dukungan
Belanda. Mereka itu biasanya
adalah para bekas Binneland Bestuur (pamong praja) yang dulunya bekerja untuk Belanda pada masa
kolonial. Oleh karena itu wajar apabila kemudian bekerja kembali untuk tuannya itu. Bersama-sama dengan polisi lokal
yang dipekerjakan di bawah kekuasaan dan tanggung jawab Pemerintah Indonesia Timur melalui SK Letnan Gubernur
Jendral 14 Maret 1946 No 3 dan SK
Komisariat Pemerintahan Umum untuk Borneo dan Timur Besar tanggal 14 Maret 1946
No
ARC 1/9/43 dan No ARC 1/9/7.
Kondisi itu berarti semua residen, asisten residen, kontrolir, dan pamong praja Indonesia seperti bestuur assistant, menteri
polisi dan pegawai administrasi lainnya, demikian juga dengan pegawai kepolisian dari Hoofkomisaris
sampi pangkat terendah yang dulunya
dipekerjakan di wilayah Indonesia Timur mulai saat itu ada di bawah kekuasaan
dan tanggung
jawab Kementerian Dalam Negeri N I T.
Dengan semua latar belakang yang
seperti itu wajar apabila N I T mampu bertahan hingga akhir dalam tubuh R I S.
Meskipun demikian dalam wilayah N I T dapat pula diketemukan gerakan perlawanan terhadap
Belanda yang sangat keras, bahkan tidak kalah kerasnya dibandingkan yang ada di Jawa.
Akan tetapi, karena kuatnya militer Belanda di sana, maka gerakan kaum republiken dapat
diatasi oleh Belanda dan para kolaboratirnya. Pada akhirnya ketika militer Belanda ditarik
dari wilayah itu, maka kaum federalis mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mampu bertahan
dari arus republiken. Hal itu semakin jelas ketika ribuan tahanan politik yang semuanya
kaum republiken dibebaskan, maka tuntutan terhadap pembibaran N I T dan penggabungan ke dalam
R I semakin nyata dan kuat. Sehubungan
dengan semakin kuatnya gerakan pro-republik, maka tanggapan yang diberikan oleh elit N I T ada
dua cara. Pertama, mereka berusaha mencegah gerakan tersebut. Akan tetapi ketika gerakan itu
semakin kuat, maka mereka berusaha memisahkan diri dengan membentuk negara terpisah dari
Indonesia. Gerakan ini dipimpin oleh Dr. Soumokil cs yang berusaha mendirikan Republik
Maluku Selatan (RMS). Sedangkan yang lainnya berusha untuk meleburkan diri ke dalam
tuntutan masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Presiden N I T Sukawati, Menteri Dalam Negeri
Daeng Passewang dan lainnya yang ada dalam kabinet terakhir N I T. Sesungguhnya kabinet
terakhir N I T berisi tokoh-tokoh yang siap meleburkan N I T ke dalam R I.[xxx] Oleh karena itu
proses perubahan R I S menjadi negara kesatuan dapat berjalan tanpa hambatan dalam tataran
politis.
D. Peleburan Federal Menjadi Negara
Kesatuan
Dengan semua perkembangan
politik di Indonesia itu memaksa para elit yang ada di N I T dan N S T untuk berunding dengan
pemerintah R I S. Oleh karena itu, dari tanggal 3 sampai 5 Mei 1950 diadakan perundingan antara PM R
I S M. Hatta, Presiden N I T Sukawati, dan PM NST Dr. Mansyur. Hasilnya adalah
disetujuinya pembentukan suatu negara kesatuan. Akan tetapi, pada tanggal 13 Mei 1950 Dewan Sumatera
Timur menentang keputusan itu. Meskipun demikian, Dewan Sumatera Timur masih bersedia menerima pembubaran R I
S dengan syarat N S T dileburkan
ke dalam R I S bukan ke dalam R I. Walaupun ada dukungan kuat dari sebagian
besar penduduk
Sumatera Timur, tetapi PM Hatta mendukung Dewan N S T. Keputusan Hatta itu didasari situasi di Sumatera
Timur yang masih rapuh untuk bergabung dengan R I. Hatta berpikir bahwa apabila diambil jalan
penggabungan N S T langsung ke dalam R I, mungkin dapat mendorong para bekas K N I L
yang saat itu masih menjadi anggota batalyon keamanan N S T untuk memberontak sebagaimana
tindakan yang diambil teman-temannya di Ambon. Sehubungan dengan hasil konferensi antara Hatta, Mansyur dan
Sukawati, maka sebagai tindak
lanjut diadakan perundingan antara PM-R I S Hatta yang mewakili N I T beserta
dengan N S T di satu
pihak dan PM-RI A. Halim pada pihak lainnya. Hasilnya adalah tercapainya persetujuan pada tanggal 19 Mei
1950 diantara kedua belah pihak untuk membentuk N K R I. Persoalannya adalah bagaimana
cara untuk membentuk sebuah negara kesatuan, sebagaimana yang dikenhendaki seluruh rakyat
Indonesia. Pilihan
yang diambil para pemimpin Indonesia adalah dengan cara mengubah Konstitusi R I S. Pilihan ini diambil karena
apabila semua negara bagian melebur ke dalam R I S (R I akan menjadi satu-satunya negara
bagian dari R I S, sehingga R I S akhirnya terlikuidasi) akan menimbulkan berbagai macam
kesulitan. Pertama, akan timbul masalah dengan para bekas anggota K N I L. Di samping itu
ada alasan penting lainnya menyangkut hubungan dengan luar negeri. Jika seluruh negara
bagian bergabung dengan R I, maka akan timbul kesulitan. Persoalannya adalah R I yang
masih eksis adalah R I sebagai negara bagian R I S(sebagai akibat persetujuan KMB). Padahal yang
menyelenggarakan hubungan luar negeri adalah R I S yang telah dilikuidasi. Dengan perkataan
lain proses kembali dari R I S ke N K R I melalui cra ini berarti peleburan negara yang telah
mendapat pengakuan internasional dengan memunculkan sebuah negara baru. Oleh karena itu
agar pengakuan dunia internasional tetap terpelihara secarayuridis, maka pembubaran R I S harus
dihindari.
Satu pilihan cerdik akhirnya
diambil, yaitu dengan jalan mengubah konstitusi R I S. Jadi secara yuridis N K R I adalah
perubahan dari R I S sebagai negara federal menjadi negara berbentuk kesatuan. Melalui cara
itu terhindar permasalahan berkaitan dengan dunia internasional. Apabila R I S dibubarkan dan
digantikan oleh R I sebagai negara bagian dalam tubuh R I S, maka negara baru yang muncul itu
tidak dapat menjalankan hubungan internasional secara yuridis formal. Hal itu disebabkan R I
sebagai negara bagian tidak dapat menyelenggarakan hubungan internasional. Akan lain
persoalannya apabila R I S berganti menjadi negara kesatuan. Secara yuridis tidak akan ada
permasalahan dengan dunia internasional, karena yang berubah hanya konstitusinya saja, bukan
negaranya.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat
diketahui bahwa bahwa perkembangan masalah ketatanegaraan Indonesia masa revolusi sangat
erat kaitannya dengan kehadiran kekuatan asing. Indonesia mengalami perubahan bentuk
negara dari kesatuan menjadi negara federal bukan saja disebabkan
oleh faktor dalam negeri, tetapi
ada hubungannya dengan kehadiran Belanda dan Australia. Kuatnya keinginan Belanda
sebagai negara koloni untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaannya di Indonesia
membuat negara ini sempat mengalami perubahan bentuk negara. Selain itu, masih ada satu
faktor lagi yaitu adanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang merasa lebih nyaman dan tenang
di bawah payung kolonial Belanda membuat ide negara federal dapat hidup dan bertahan selama
masa sekitar K M B. Kehadiran pasukan Belanda dengan kekuatan yang lebih besar
dibandingkan dengan militer Indonsia, yang baru terdiri dari pemuda pejuang menjadikan pendukung ide
negara federal di beberapa tempat berada di atas angin. Oleh karena itulah, negara federal
dalam bentuk R I S sempat terwujud melalui KMB, meskipun hanya seumur jagung. Terjadinya perubahan dari negara
federal menjadi negara kesatuan tidak dapat disangkal disebabkan dukungan politik dari
masyarakat Indonesia terhadap ide negara federal sesungguhnya sangat lemah. Ide negara federal
muncul dari ambisi politik orang-orang Belanda yang agaknya takut negerinya tidak lagi
mempunyai peran di Asia. Oleh karena itulah ketika masalah kemerdekaan Indonesia sudah
tidak dapat ditawar lagi, mereka memperkenalkan ide mengenai pembentukan negara federal. Akan
tetapi, ide ide hanya didukung oleh sebagain kecil masyarakat Indonesia, yaitu mereka yang
pernah merasakan nikmatnya hidup dalam lindungan kekuasaan kolonial Belanda. Hal itu
terbutki ketika sebagian besar pasukan Belanda mulai ditarik dari Indonesia. Bersamaan dengan itu
dibebaskannya tahanan politik yang sebagaian besar merupakan elit politik pro-republik
membuat desakan masyarakat untuk mengganti negara federal kepada bentuk negara kesatuan semakin
kuat. Dengan demikian jatuhnya negara federal tinggal menunggu waktu setelah situasi
politik di Indonesia benar-benar berubah.
Posting Komentar